Kegalauan Emak-Emak Bekerja

Pilihan menjadi emak-emak yang bekerja, mungkin merupakan kegalauan yang tidak pernah habis-habisnya bagi saya. Saya menjadi emak dari satu anak yang harus terpisah jarak dari anak dan suami karena  pekerjaan. Jarak terpentang sejauh 149 km diantara kami. Bukan pilihan yang mudah, karena bagaimanapun saya tidak pernah fokus dan mendapatkan hasil yang maksimal dalam pekerjaan maupun dalam mendampingi keluarga. Ketika  bekerja, pikiran saya tertuju pada anak saya. Apakah dia sudah makan, makan apa, bajunya bersih nggak, kaos kakinya diganti nggak, PR-nya dikerjakan nggak dan lain sebagainya. Bisa sih dikontrol via telpon tapi ya begitulah anak jaman now, menjawab semua arahan, himbauan, perintah dengan kata "iya mak eeee....", padahal belum tentu dikerjakan atau dipatuhi. Giliran saya tidak masuk kerja alias ambil ijin dari kantor karena anak saya kurang fit, pikiran saya justru ke pekerjaan. Reviunya belum selesai, Tepranya belum dientri, wadduhhhh... ada rapat. Tidak ada yang maksimal kan?

Pada awalnya, saya tinggal bersama anak di rumah orangtua. Dari bayi sampai anak saya berumur 8 tahun, kami tinggal bersama. Hanya bapaknya yang tinggal terpisah dari kami. Masih bisa dinikmati dengan mengatur jadwal bergantian untuk saling mengunjungi.

Tetapi ketika anak saya memasuki kelas 3 SD, kami memutuskan dia tinggal bersama Bapaknya. Dia dapat berangkat sekolah dan pulang sekolah bersama dengan Bapaknya yang seorang guru di sebuah sekolah swasta. Keputusan ini berdasarkan pertimbangan agar anak saya tidak menjadi manja karena tinggal bersama Oppungnya sekalian mengistirahatkan Oppungnya yang sudah memomong anak saya dari bayi dan juga sebagai bahan motivasi bagi saya untuk dapat segera mengajukan proses perpindahan. Saya pun berpikir bahwa sang Bapak harus punya peran dalam membesarkan anak kami Hezekiel (QL).

Tidak ada kesulitan yang berarti yang dialami oleh suami saya dalam mengurus QL, karena pada dasarnya dia sudah  mandiri. Sudah  bangun pagi sendiri tanpa harus dibangunkan, sudah mandi dan berpakaian sendiri, sudah dapat mengambil sarapannya sendiri. Walau harus berangkat pada pukul 05.45 WIB setiap paginya, dia tidak pernah terlambat bangun dan siap-siap.

Namun kelelahan saya pastinya semakin bertambah. Setiap Jumat saya harus menemui mereka dan kemudian kembali pada hari Minggu untuk bekerja keesokan harinya. Sepanjang hari Minggu saya juga harus berkutat didapur ,menyiapkan stok makanan selama 5 hari ke depan. Itupun saya lakukan kalau sedang tidak dilanda lelah.

Kadang muncul penyesalan kenapa anak saya harus ikut dengan bapaknya. Tetapi jika mengingat pertimbangan awal, saya hibur diri sendiri bahwa hal itu sudah yang terbaik untuk saat ini. Karena toh dengan menyesal, tidak ada yang berubah dengan sendirinya. Hanya dengan doa dan usaha maka target-target kedepan dapat terwujud.

So....mari menikmati pilihan yang sudah diambil.

Komentar

  1. Tos Mak. Sebagai sesama emak-emak pekerja. Semangat kitaaaa 💪💪

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Labersa Hotel, Balige

Cara Self Love for Girls