Mi Gomak
“Amangjo tahe, cantik kalilah kau, Inang?”
kata Mak Benget saat melihat Sundari. Dengan tatapan kagum yang terlihat nyata,
Mak Benget mengamati Sundari dari ujung dahi ke ujung jari kaki. Rambutnya ikal
sebahu, mata bulat, wajah mulus, dagu lancip dan bibir lebar yang selalu melukiskan
senyum. Pakaian modis yang membalut tubuh sintalnya, membuat Sundari terlihat
menawan.
Pandangan Mak Benget lama berhenti di bibir Sundari yang merah
merona, semerah cabai. Mak Benget kemudian teringat pada mertuanya yang
memiliki bibir serupa tapi tak sama. “Aaaah! Semogalah ucapan dari bibir itu
tidak sepedas cabai,” ujar Mak Benget pada dirinya.
Hari ini, Benget menepati janji. Dia
memperkenalkan pacarnya yang setiap hari diceritakan dengan berjuta puji kepada
Mak Benget. Namun, setiap kali Benget bercerita, Mak Benget tertawa menolak percaya.
Sebelum melihat dengan mata kepala sendiri, Mak Benget berpikir bahwa mustahil
Benget mampu menggaet pacar yang cantik rupawan.
“Macam Paramitha Rusadhy kau, Inang. Kok,
mau pula kau sama anakku?” tanya Mak Benget dengan sorot mata tak lagi takjub, berubah
menjadi heran. Sekilas dia melirik Benget yang tersenyum bangga dan berdiri
tegap membusungkan dada. Mak Benget serasa melirik cermin yang memantulkan
bayangan sempurna. Bentuk wajah, mata, hidung, bibir bahkan telinganya, seperti
berpindah ke wajah Benget. Ibu dan anak itu memang bagai pinang dibelah dua. Jika
yang setengah busuk, maka yang setengahnya lagi dipastikan busuk pula.
“Ayolah, Inang. Makanlah kita, ya. Sudah kusiapkan makanan
enak untukmu,” ujar Mak Benget seraya menarik lembut tangan Sundari menuju
ruang makan. Sundari menurut, lalu sedikit terkejut, tidak ada makanan di atas
meja.
“Duduklah. Kuambilakan makanannnya, ya?”
Mak Benget menarik sebuah kursi. Mempersilahkan
Sundari untuk segera duduk. Terburu-buru Mak Benget menuju dapur. Ditinggalkannya
Benget dan Sundari yang saling tersenyum penuh arti. Bukan hanya itu, mereka
pun saling menggesekkan kaki di bawah meja.
Sebentar saja menunggu, Mak Gomak datang dengan
sebuah piring dan sebuah cangkir.
“Makanlah, inang. Ini mamanya mi gomak andaliman. Belum pernah
kau makan mi gomak, kan? Di cangkir ini mamanya teh gambir, serbuknya terbuat
dari daun gambir,” ucap Mak Gomak, lalu duduk dihadapan Sundari.
Sundari terpelongo memandangi suguhan dihadapannya.
Dia seperti melihat ratusan cancing yang teronggok di piring. Cacing gelang
yang disiram gulai. Bahunya bergidik. Air liur memenuhi mulutnya. Dorongan dari
dalam perut tidak kuasa ditahannya.
“Huuuuueeeek,”
Isi perutnya tumpah, menambah volume piring mi gomak. Mak Benget terhenyak. Sorot matanya memancarkan marah.
Benget yang merasakan aura murka buru-buru
mengambil lap untuk membersihkan meja. Dia mengedip-ngedipkan mata sebagai kode
agar Sundari meninggalkan ruang makan. Sundari yang salah tingkah dengan rasa
sungkan bangkit dari duduknya.
“Maaf ya, Tante. Saya benar-benar nggak bisa
menahannya.”
“Manalah mungkin kau betul-betul mau sama si
Benget, beda tampang kalian saja macam beauty and the beast,” cetus Mak Benget.
Tanpa menyahut, Sundari menyeret langkahnya
menuju ruang tamu. Mak Benget menarik napas panjang. Dia menahan diri agar
tidak meledak dan berteriak. Diamatinya Benget yang masih sibuk membersihkan
meja.
“Harusnya yang membersihkan muntahnya, ya,
perempuan itu. Kau cari calon istri yang
lain aja. Mamak nggak mau punya parumaen kayak gitu,” kata Mak Benget dengan
volume suara yang ditahan.
“Mungkin dia kurang sehat, Mak?” bela Benget.
Mak Benget mengibaskan tangannya tanda tak
sependapat. Benget mendekati Mak Benget. Tangan kirinya dilingkarkan ke pundak
Mak Benget. Tangan kanannya menepuk-nepuk lembut lengan Mak Benget,“ Apa pun
kata Mamak, aku pasti nurut. Tapi tolong jangan Mamak paksa aku cepat kawin,
ya. Cari perempuan cantik seperti Sundari nggak mudah lho, Mak.”
Mak Benget menganggukkan kepala walau dalam
hati kecilnya sangat berharap anak satu-satunya itu segera berumah tangga.
“Kau antar dia pulang sekarang!” perintah Mak
Benget.
Sesegera mungkin, Benget mengajak Sundari
meninggalkan rumahnya. Senyum dan tawa silih berganti sepanjang perjalanan
mereka. Motor Yamaha menjadi saksi bisu bahwa peristiwa apapun, tidak merusak
sukacita mereka.
“Kok, bisa sih kamu muntah tadi?” tanya Benget
penasaran setelah sampai di kontrakan Sundari.
“Aku pernah dikerjain teman-teman, Nget. Saat
lagi makan mie bareng-bareng, mereka naruh cacing di piringku. Hiiiiiiiii!
Trauma betul aku. Naah, mie yang disuguhkan mamamu, kok, bentuknya persis kayak
cacing.
Benget tertawa, “Tapi itu justru menguntungkan
kita,” ucap Benget, ”Andai tadi semua berjalan mulus, kamu harus berdandan
seperti ini setiap ketemu mamaku. Cantik banget, lho, kamu .”
“Hahahhahahhha…. Ini hasil karya Jeng Jenni,
cin.”
Benget menatap lembut Sundoro yang sedang
melepas semua atribut Sundari. Tubuh kekar dan rambut plontos pun terlihat
nyata. Untuk sementara, Benget aman dari desakan mamaknya untuk segera menikah.
Suatu saat, jika mamaknya kembali mendesak dan cintanya masih untuk Sundoro,
mereka sudah siap dengan skenario
menikahi Sundari.
(Cerpen untuk ikutan lomba menulis 3H di Elfamediatama)
Foto Shutterstock
Komentar
Posting Komentar