Sesalku
Pagiku hilang telah melayang, hari mudaku sudah pergi,
sekarang petang datang membayang, batang usiaku sudah tinggi….
Rangkaian kata itu, sepenggal bait puisi "Menyesal" karya Ali Hasjmi. Aku pernah membacakannya dalam lomba peringatan hari
kemerdekaan Indonesia. Aku baca dengan alunan nada. Suaraku berawal melengking,
perlahan melembut lalu kembali berteriak. Puisi kudeklamasikan di hadapan juri yang
berusia menjelang tinggi. Aku berusaha memetik makna setiap kata. Tak banyak
yang bisa kumengerti. Pemahamanku dangkal. Aku lupa ada makna yang tersirat. Yaaa,
usiaku masih sebelas tahun kala itu. Aku meraih juara tiga. Membuatku sedikit bangga.
Aku terkejut. Puisi itu mencengkram di memoriku. Aku ingat
kata per kata. Tentu saja, dalam makna yang sudah berbeda. Bisa saja karena
kata "menyesal" menjadi selimut kabut yang terperangkap di kepalaku. Melimpah penyesalan
yang tercatat dari babak ke babak hidupku. Menyesal tidak belajar maksimal. Menyesal
bukan pejuang tangguh. Menyesal sering mengkhianati cita-cita. Penyesalan yang pasti datang belakangan.
Kuberitahu, ada masa di mana aku pernah bermimpi jadi penulis.
Aku menulis cerita anak. Cerita kukirim ke media nasional. Selalu ditolak. Aku
menulis cerita pendek, kukirim ke media lokal. Dimuat. Tetapi setelah itu aku
tidur dalam nyenyak. Tak berujung. Aku pernah terbangun. Lalu menemukan
alasan untuk kembali tidur. Dan ketika aku betul-betul tersadar, batang usiaku hampir
tinggi.
Andai aku terus berlatih sejak mencintai menulis, mungkin
karyaku telah menjelajah. Jika sedikit cinta menulis kupertahankan, mungkin aku
sudah ahlinya. Kubayangkan, di masa ini aku adalah seorang novelis
terkenal atau penulis skenario terlaris atau menjadi tutor penulisan berhonor
mahal atau pemilik sebuah penerbitan. Begitulah! Kini aku mampu meresapi puisi
itu. Bahwa bila usia menua, serasa banyak waktu yang tersia-sia.
Diary, dalam usia menuju senja, aku mau kau menjadi
saksi. Kugoreskan segurat janji, suratan pena di lembaranmu. Aku tidak akan
pernah melantunkan syairmu yang sama. Cinta menulis bakal kupupuk, kuraih,
setidaknya melalui catatan di halaman ini. Bukan lagi menjadi seorang ahli, hanya menulis untuk diri.
Kepada yang muda kuharapkan, atur barisan dipagi hari,
menuju ke arah padang bakti…
Demikian untaian akhir puisi. Harapan yang sama, kuletakkan di pundak anakku. Bukan! Bukan hendak memberatkannya dengan hidup masa tuaku. Aku berpantang melakukannya. Yang aku mau, dia menolak menyalin sajak serupa.
“Terbanglah, Nak. Susun visi-misimu. Setia di rencanamu. Terkadang, perjalanan membawamu berbelok ke kiri atau ke kanan. Segeralah berbalik ke mimpimu. Fokus. Malcolm Gladwell berkata, dibutuhkan 10 ribu jam menuju ahli dalam satu bidang. Kuberi satu contoh. Menulis tiga jam setiap hari, maka kau butuh sembilan tahun untuk lahir sebagai ahli. Kau mau jadi apa, Nak? Ayo! Berlatih sedari dini. Berkata nanti, seolah waktu dapat kau putar ulang lagi.”
Pemilik usia muda, percayalah! Pesan yang sekarang
katamu basi, suatu saat nanti 'kan kau torehkan kembali. Bukan kepadaku, tapi pada mereka para juniormu.
Demikian untaian akhir puisi. Harapan yang sama, kuletakkan di pundak anakku. Bukan! Bukan hendak memberatkannya dengan hidup masa tuaku. Aku berpantang melakukannya. Yang aku mau, dia menolak menyalin sajak serupa.
“Terbanglah, Nak. Susun visi-misimu. Setia di rencanamu. Terkadang, perjalanan membawamu berbelok ke kiri atau ke kanan. Segeralah berbalik ke mimpimu. Fokus. Malcolm Gladwell berkata, dibutuhkan 10 ribu jam menuju ahli dalam satu bidang. Kuberi satu contoh. Menulis tiga jam setiap hari, maka kau butuh sembilan tahun untuk lahir sebagai ahli. Kau mau jadi apa, Nak? Ayo! Berlatih sedari dini. Berkata nanti, seolah waktu dapat kau putar ulang lagi.”
Komentar
Posting Komentar