Sri Rejeki
Aglonema adalah nama latinku. Kebanyakan orang memanggilku Sri Rejeki.
Mereka percaya kalau aku bisa membawa rejeki. Aku termasuk tanaman hias mahal. Corak
daun yang indah menjadi keunggulanku. Aku digelari ratu diantara tanaman hias. Aku
bangga menjadi keluarga tanaman Sri Rejeki.
Aku hidup senang dan bahagia. Aku dirawat anak cantik bernama Lioni.
Dia menanam aku di pot keramik berwarna pink. Potku diletakkan di kamar, di samping
meja belajarnya. Lioni tidak pernah bosan menatapku dan mengajakku mengobrol. Dia
rajin menyiramiku. Daun-daunku selalu
segar.
“Kamu tanaman hias yang cantik.”
Pujian itu sering kudengar dari Lioni. Setiap Sabtu pagi, Lioni meletakkanku
di teras bersama tanaman lainnya.
“Kamu berjemur sebentar, ya. Kamu harus menikmati sinar matahari.
Jangan khawatir, nanti kamu aku bawa lagi ke kamar,” kata Lioni saat meletakkan
aku.
Aku sangat menikmati waktu berjemur. Daun-daunku bergoyang ditiup
angin sepoi-sepoi. Aku bisa memamerkan kecantikan dan keanggunanku pada tanaman
lain. Aku sering mendengar bisik-bisik
mereka.
“Tanaman itu sombong sekali. Huh! Mentang-mentang kesayangan Lioni,
dia tidak mau berteman dengan kita,” bisik tanaman bernama lidah mertua.
“Ah, sudahlah. Nanti dia juga kena batunya, kok,” sahut bunga janda
bolong yang bahasa latinnya Monstera Adansonii.
Aku membenci mereka. Mereka tanaman jelek yang tidak pantas menjadi
temanku. Dulu, mereka selalu menyapaku dengan ramah dan menyebutku si cantik. Aku
tidak pernah menjawab. Selain dengan Lioni, aku hanya mau berteman dengan
matahari dan angin.
“Walau kau tanaman hias yang indah dan mahal, kau tidak boleh
sombong.” Nasehat matahari padaku. ”Kesombongan mendatangkan petaka.”
“Aku tidak percaya. Tidak akan ada manusia yang tega menyia-nyiakan aku,”
kataku ketus.
“Mungkin semua manusia menyukai kecantikanmu. Tapi kamu harus ingat,
banyak manusia tidak telaten merawat tanaman,” kata matahari.
Aku tidak perduli dengan nasehat matahari. Aku selalu membantah
kata-katanya. Aku lebih suka mengajak angin menari daripada mendengar kata-kata yang tak berarti
itu
Suatu hari, Penny saudara sepupu Lioni datang berkunjung. Ketika
Lioni memamerkan aku padanya, Penny terpesona pada kecantikanku. Penny pun
menginginkan aku. Lioni yang baik hati menyerahkanku pada Penny.
Aku menjadi milik Penny. Tentu ada perasaan sedih berpisah dengan
Lioni. Tapi aku sama sekali tidak takut. Aku yakin Penny menyayangiku. Lioni memberi
penjelasan panjang lebar pada Penny tentang kebutuhanku.
Seminggu menjadi milik Penny, aku sudah betah sekali. Sama seperti
Lioni, dia meletakkan aku di dalam kamarnya. Dia rajin menyiramiku setiap hari
dengan air secukupnya. Dia mengerti, memberiku banyak air bisa menyebabkan
batangku busuk.
Namun, pada minggu kedua aku jarang melihat Penny. Dia lupa memberiku
air. Satu hari, dua hari dan akhirnya, sudah dua minggu dia tidak menyiramiku.
Daunku mulai menguning.
“Haus, aku haus, tolong aku,” seruku ketika melihat Penny memasuki
kamar. “Beri aku air.”
Penny mengabaikanku. Aku sedih sekali. Aku tidak tahu harus berbuat
apa untuk menghilangkan rasa hausku. Tubuhku lemas.
“Mungkin ini adalah hukuman dari kesombonganku,” kataku dalam hati.
Aku putus asa. Andai aku berada di luar kamar, mungkin aku bisa
bertahan hidup. Hujan menyiramiku. Angin akan mengajakku menari dan matahari pasti
membelaiku dengan sinarnya. Aku merasakan akibat kesombonganku. Mungkin, aku akan
mati dan menyesal tidak ada arti.
andai mengerti bahasa tumbuh-tumbuhan
BalasHapus